Serial Ramadhan #28
Zakat Fithri
Saudaraku! Sungguh bulan yang mulia ini begitu cepat berlalu dan tak akan tersisa kecuali hanya sedikit waktu.
Maka, siapa diantara kalian yang telah mendulang kebaikan di dalamnya hendaknya dia banyak memuji Allah seiring meminta agar Allah menerima seluruh kebaikan tersebut. Dan siapa saja diantara kalian yang masih lalai hendaknya segera bertaubat kepada Allah mohon ampun atas semua kekurangan, karena sungguh taubat sebelum datangnya kiamat akan diterima Allah Dzat Pemilik Rahmat.
Saudaraku! Sungguh Allah menetapkan syariat di akhir Bulan Ramadhan yang mulia ini sebuah ibadah yang mulia, yaitu kalian menunaikan zakat fithri sebelum menunaikan shalat Iedul Fithri.
Apakah zakat fithri itu? Bagaimana hukumnya? Apa hikmahnya? Jenis dan ukurannya bagaimana? Kapan waktu menunaikannya? Siapakah yang berhak menerimanya? dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Zakat Fithri kita akan bahas pada serial kali ini.
Zakat Fithri
Adalah zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atas ummatnya yaitu setiap muslim, baik orang tua maupun anak-anak, baik seorang yang merdeka ataupun budak, baik laki-laki maupun wanita, selama dirinya muslim wajib baginya mengeluarkan atau menunaikan Zakat Fithri, khususnya bagi mereka yang memang memiliki kelebihan makanan pada hari Idul Fitri atau pada malam hari sebelumnya.
Apa yang diwajibkan oleh Rasulullah hukumnya sama dengan kewajiban yang datang dari sisi Allah.
Perhatikan ayat-ayat dibawah berikut ini :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS. An-Nisaa: 80)
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa: 115)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (QS. Al-Hasyr: 7)
Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan
فرَض رسولُ الله صلَّى الله عليه وسلَّم زكاةَ الفِطرِ من رمضان صاعًا من تَمرٍ أو صاعًا مِن شَعيرٍ على العبدِ والحرِّ والذَّكَرِ والأنثى والصَّغيرِ والكَبيرِ مِنَ المسلمين
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan atas setiap muslim untuk mengeluarkan di akhir Ramadhan berupa 1 sha' Kurma atau 1 sha' gandum, menunaikan hal ini wajib atas seorang budak maupun seorang yang merdeka, wajib pula atas orang tua maupun anak-anak, sama wajibnya pula baik itu laki-laki maupun wanita, selama ia seorang muslim”. (Muttafaqun 'Alaihi)
Bagi mereka yang tidak memiliki jaminan ketersediaan makanan yang mencukupi pada hari Idul Fithri ataupun malam harinya (kurang dari 1 sha' kurma / gandum), maka tidak wajib menunaikan zakat fithrah.
Perhatikan ayat berikut ini :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghabun: 16)
Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
إذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا منه ما اسْتَطَعْتُمْ
“Bahwa setiap perintah Agama hendaknya dilakukan semaksimal kemampuan yang dapat dicapai”. (Muttafaqun 'Alaihi)
Maka, saat seseorang sudah maksimal berusaha dan ia hanya memiliki bahan makanan yang dimakan pada hari itu bahkan kurang, kewajiban zakat fithri gugur darinya.
Kewajiban zakat fithri ini ditetapkan untuk masing-masing individu, namun manakala salah satu atau beberapa anggota keluarga tidak mampu membayar zakat fithri atas nama dirinya karena masih menjadi tanggungan (belum bekerja atau termasuk mereka yang wajib dinafkahi seperti istri atau siapa pun yang ada di dalam rumah), maka hendaknya anggota keluarga lainnya membayarkan zakat fithri atas nama orang tersebut, agar orang tersebut terbebas dari kewajiban atas dirinya.
Sedangkan janin yang masih ada dalam perut ibunya maka hukumnya sunnah untuk dibayarkan zakat fithri atas namanya. Dahulu khalifah 'Utsman membayarkan zakat atas nama janin dalam kandungan.
Diantara hikmah dari ditunaikannya zakat fithri :
1. Menggembirakan faqir dan miskin serta mencukupi kebutuhan makanan mereka pada Hari Raya Iedul Fithri, sehingga mereka sama-sama merasakan kebahagiaan saat menyambut hari tersebut, karena Iedul Fithri merupakan Hari Berbuka dan Hari untuk makan-makan.
2. Menyucikan diri pribadi seorang muslim yang telah berpuasa sebulan penuh sekaligus menjadi penambal kekurangan atau kelalaian atau bahkan dosa yang terjadi di saat mereka melaksanakan ibadah puasa sebulan lamanya.
3. Sebagai syi'ar (menampakkan) rasa syukur atas kenikmatan dari Allah berupa taufiq untuk mampu menyelesaikan ibadah puasa sebulan penuh dan seluruh rangkaian ibadah dan amal kebaikan lainnya di Bulan Ramadhan.
Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu mengatakan "Hakikat zakat Fithri adalah sebagai sesuatu yang menyucikan dan menyempurnakan mereka yang telah berpuasa sebulan penuh manakala terdapat kekurangan, kelalaian atau dosa di masa itu, sekaligus sebagai upaya mencukupi kebutuhan makanan bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikan sebelum shalat Ied maka itulah zakat fithri yang diterima Allah, sedangkan yang menunaikannya setelah shalat Ied tidaklah dianggap menunaikan zakat, melainkan hanya mengeluarkan shadaqah biasa sebagaimana sedekah lainnya". (HR. Abu Dawud, Ibnu Maajah)
Jenis zakat fithri
Hanya dapat ditunaikan dengan mengeluarkan beberapa jenis makanan pokok, yang memang menjadi makanan pokok manusia dimana ia tinggal. Seperti kurma, beras, jagung, gandum, dan bahan makanan pokok lainnya yang umum dikonsumsi masyarakat di tempat dia tinggal.
Dari apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Umar sebelumnya bahwa zakat fithri berupa kurma dan gandum, karena masyarakat di sana mengonsumsi dua jenis makanan pokok ini.
Abu Sa'id al-Khudriy menambahkan “kami dahulu menunaikan zakat fithri di masa Rasulullah dengan gandum, kismis, keju dan kurma”. (HR. Bukhari: 1510)
Selain makanan pokok yang dikonsumsi manusia, maka tidak dapat memenuhi syarat untuk dikeluarkan sebagai Zakat Fithri.
Misalnya : pakan ternak, pakaian, perabot rumah tangga seperti barang-barang, bejana-bejana makan dan minum, atau barang lainnya selain makanan pokok.
Bahkan apabila zakat fithri ini dikeluarkan berupa uang tunai murni, maka terjadi khilaf (perselisihan) diantara para ulama, dengan hasil akhir menguatlah pendapat yang melarang menunaikan zakat fithri dengan uang tunai.
Takaran Zakat Fithri
Takaran Zakat Fithri pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditakar dengan istilah sha'.
Dan Zakat Fithri itu dikeluarkan sebanyak 1 sha' berupa gandum terbaik.
1 sha' setara 480 mitsqal
1 mitsqal setara 4,25 gram
Maka takaran minimal untuk zakat fithri adalah 2.040 gram atau sekitar 2,1 kg.
Karena takaran itu cukup sulit disamakan di setiap wilayah, maka diperkirakan saja oleh para ulama berdasarkan banyak sumber yang menjelaskan perihal takaran.
Ada yang menyampaikan bahwa 1 sha' itu setara dengan 4 mud, sedangkan 1 mud setara dengan cakupan 2 telapak tangan lelaki dewasa. Karena ukuran tubuh manusia pun berbeda-beda menurut ras dan wilayah tinggalnya, maka seyogyanya kita melebihkan saat dikonversi ke dalam ukuran berat yang lebih akurat semisal gram atau kilogram.
Dari berbagai sumber pembahasan fiqih, maka takaran zakat Fithri adalah 3,25 Liter atau 2,5 kg atau lebih hati-hati dalam masalah ini adalah 3 kg sebagaimana Komite Tetap dalam Urusan Fatwa KSA.
Kapan dikeluarkan atau ditunaikan?
Zakat Fithri dapat ditunaikan sejak setelah terbenamnya matahari di malam Iedul Fithri.
Apabila seseorang meninggal sebelum matahari terbenam di akhir Ramadhan walaupun tinggal beberapa menit saja masuk malam Iedul Fithri, maka tidak wajib zakat atasnya. Pun demikian halnya apabila ada bayi lahir setelah terbenamnya matahari di hari akhir Ramadhan yaitu malam Iedul Fithri maka tidak wajib dikeluarkan zakat atasnya, namun disunnahkan bagi orang tuanya mengeluarkan zakat atasnya sebagaimana dijelaskan di awal serial ini.
Apabila cukup menyulitkan bagi seseorang menunaikan zakat fithri di waktu tersebut karena singkatnya, maka ada rukhshah (keringanan) yaitu boleh ditunaikan 1 atau 2 hari sebelum Iedul Fithri.
Dalam hal tenggang waktu pengeluaran zakat fithri ini, para ulama membaginya menjadi 2, yaitu (waktu paling utama) dan (waktu yang dibolehkan).
Adapun (waktu paling utama) yang terbaik adalah ditunaikan sebelum pelaksanaan Shalat Iedul Fithri, bisa juga sejak malam harinya.
Hal ini berdasarkan riwayat dari sahabat yang mulia Abu Sa'id al Khudriy dan Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah memerintahkan manusia menunaikan zakat sambil mereka berangkat menuju shalat Iedul Fithri. Hal itu yang diamalkan para sahabat kala itu.
Oleh karenanya disunnahkan untuk sedikit mengakhirkan pelaksanaan Shalat Iedul Fithri (tidak terlalu pagi-pagi sekali) untuk menyediakan waktu yang cukup bagi kaum muslimin menunaikan zakat fithri mereka di waktu utama ini.
Sedangkan shalat Iedul Adha disunnahkan dilaksanakan sepagi mungkin, agar para pequrban dapat makan dari sebagian sembelihan hewan qurbannya.
Berikutya adalah (waktu yang dibolehkan) yaitu dibolehkan untuk menunaikan zakat fithri 1 atau 2 hari sebelum Iedul Fithri.
Hal ini berdasarkan kabar yang disampaikan Nafi' (pembantu Umar), bahwa Abdullah bin Umar menunaikan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum Iedul Fithri.
Ingat saudaraku, mengakhirkan waktu sampai ditegakkannya shalat Iedul Fithri atau bahkan menunaikannya setelah Iedul Fithri tanpa udzur syar'i, maka dilarang.
Bila itu terjadi, maka tidaklah gugur kewajiabnnya dan ia pun berdosa, namun pemberiannya (yang dianggap zakat) itu mendapat pahala sedekah biasa.
Udzur syar'i yang dibolehkan bagi seseorang yang terpaksa menunaikan zakat setelah pelaksanaan shalat Iedul Fithri adalah sebagai berikut :
1. Orang muslim tersebut tidak menemukan sama sekali orang yang berhak menerima zakat, maka ia pun mencari hingga habis waktunya.
2. Orang muslim tersebut baru mengetahui ketetapan hari raya Iedul Fithri secara mendadak sehingga tidak sempat menunaikan zakat fithrinya karena kesibukannya.
3. Orang muslim tersebut biasanya mengamanahkan zakat fithrinya untuk dibantu pengurusannya kepada orang atau lembaga tertentu, dan mereka pun lupa akan tugas ini.
Adapun selain udzur di atas maka cenderung tidak diterima dan hendaknya seseorang betul-betul memperhatikan apa yang telah Allah dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam wajibkan kepadanya.
Dimana hendaknya berzakat fithri?
Lebih disarankan kepada setiap muslim yang akan menunaikan zakat fithri, agar menunaikannya/mengeluarkan zakatnya di tempat dimana ia akan merayakan Iedul Fithri sehingga orang-orang faqir dan miskin di daerah tersebut lebih utama untuk menerima zakat muslim tersebut.
Namun, tidak mengapa ia mengeluarkan zakatnya di tempat ia berdomisili dengan menitipkan kepada petugas atau relawan pengurusan zakat.
Pendapat lainnya, seorang melihat dimana kiranya tempat yang disana banyak orang fakir dan miskin membutuhkan zakatnya, maka dia mengeluarkannya di tempat tersebut. Boleh juga, ia keluarkan di tempat-tempat yang mulia seperti di Makkah atau Madinah pada saat mungkin ia melaksanakan umrah atau bekerja disana atau sekedar safar kesana. Wallahu a'lam.
Siapakah para Mustahiq (orang yang berhak menerima) Zakat Fithri?
Yaitu mereka orang yang faqir atau miskin, atau memiliki hutang yang sulit pelunasannya, mereka ini semua berhak menerima zakat fithri sesuai kadar hajat mereka.
Bagaimana teknis pemberiannya?
Perkara ini ringan, boleh memberikan satu bagian zakat fithri kepada banyak orang faqir dan orang miskin (satu orang satu bagian). Diperbolehkan pula beberapa bagian (kantong) zakat fithri diberikan kepada satu orang faqir atau satu orang miskin (satu orang misal dapat 10 kantong beras, karena satu keluarga terdiri dari 10 orang yang menunaikan/membayarkan zakat fithrinya).
Apabila seorang mengeluarkan zakat melalui perantara petugas atau relawan dari beberapa komunitas yang menempatkan zakat fithri kaum muslimin di satu tempat khusus, dimana zakat fithri dari semua orang dicampur jadi satu, kemudian mereka timbang ulang atau dikemas tanpa timbangan ulang (dikira-kira), hukumnya boleh, dengan syarat saat petugas menyerahkan kepada yang berhak, petugas tadi wajib menjelaskan bahwa zakat tersebut timbangannya tidak pasti.
Hal yang demikian perlu dilakukan agar orang yang menerima zakat tersebut tidak lantas mengira bahwa zakat tersebut bisa ia teruskan dan atasnamakan dirinya untuk ia berikan lagi misalnya ke orang lain, dan merasa ia membayar zakat dengan zakat yang ia terima sebelumnya tersebut (timbangan perkiraan).
Karena orag faqir atau miskin yang menerima zakat fithri apalagi dari banyak pihak, maka boleh baginya memberikannya ke orang lain lagi dengan akad dirinya atau bersama keluarganya berzakat dengan zakat yang ia terima sebelumnya dari orang lain.
Wallahu a'lam